Dayat Hidayat, Petani Andalan dari Aceh Besar
Indonesia, hingga kini masih menjadi negara agraris dan tumpuan ekonomi sebagian besar penduduk di perdesaan. Hal ini karena kondisi alam dan sumberdaya kita yang begitu luas dan beragam yang menawarkan ruang besar disektor pertanian.
Meskipun masih banyak stigma negatif mengenai kondisi pertanian Indonesia sehingga menyebabkan generasi muda enggan berkecimpung di sektor pertanian, namun ternyata bagi sebagian orang bertani adalah jalan menuju kemakmuran.
Bagi masyarakat kita, menjadi petani adalah dianggap sebagai pekerjaan tidak menjanjikan, tidak prestius dan bahkan kumuh berlumuran dengan lumpur. Padahal, sektor pertanian sangat prospektif jika dilakukan dengan serius dan integratif. Ternyata stigma ini terbantahkan oleh seorang petani andalan dari Aceh Besar.
Dia adalah Dayat Hidayat. Beliau merupakan perantau dari tanah Sunda, Tasikmalaya, Jawa Barat yang kini menetap di Desa Abeuk Glee, Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar dan sudah memiliki lima cucu dari tiga anak laki-lakinya.
Menurut suami Zuhra ini, tak perlu merasa gengsi jika ingin menjadi seorang petani karena buktinya ada banyak kisah sukses petani Indonesia yang bisa menjadi andalan sebagai patriot pangan, pemberi makan bagi penduduk perkotaan dan juga penyelamat lingkungan.
Era Soeharto, sektor pertanian menjadi andalan dalam pembangunan nasional. Pelbagai program dijalankan untuk mensukseskan sektor pertanian termasuk melakukan pemerataan sumberdaya manusia di seluruh Indonesia demi menggapai swasembada yang nyata.
Dayat termasuk petugas Proyek Penyuluhan Pertanian Nasional gelombang pertama yang dikirimkan Pemerintah Soeharto pada 1980 ke seantero Nusantara termasuk ke Provinsi Aceh. Aceh sendiri mendapatkan 40 orang dari pemerintah pusat untuk Program NAEP tersebut. Dari 40 tersebut disebar ke seluruh kabupaten/kota di Aceh dengan porsi masing-masing 5 orang per kabupaten/kota.
Sebagian orang menyebut program NAEP itu menuai kesuksesan dan dianggap suatu pelopor keberhasilan program pertanian di masa Soeharto yang diidentik dengan tercapainya swasembada pangan pada 1984 yang diakui oleh Food Agriculture Organization (FAO). Dayat Hidayat memiliki andil besar terhadap pencapaian tersebut dan dalam memajukan pertanian Aceh khususnya di Aceh Besar.
Setahun menyandang status sebagai tenaga kontrak, pada 1981 Dia langsung diangkat menjadi PNS di lingkungan pemerintah Aceh Besar. Pria kelahiran 1957 ini sejak diangkat sebagai PNS hingga purnabakti tetap setia sebagai Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang wilayah kerja terakhirnya di Kecamatan Indrapuri. Tatkala banyak teman seangkatannya hijrah menjadi pejabat struktural. Dayat sempat ditugaskan pada kecamatan jantho beberapa saat untuk membantu program pertanian di kawasan transmigrasi.
Ayah tiga anak ini pertama kali berkenalan dengan BPTP saat lembaga pengkajian ini dinakhkodai oleh Dr. M. Nur H.I pada 1999. Dimana saat itu Aceh dalam masa sulit, masa konflik. Namun tekad Dayat untuk membina petani tidak kendur. Kala itu, beliau diberikan tugas oleh M. Nur H.I untuk mengawal kegiatan Pengembangan Padi Hibrida Program Intani.
Ini adalah program pertama perkenalan padi berumur pendek kepada petani yang sebelumnya petani masih menanam padi dengan umur tanaman panjang yang mencapai 6 bulan dengan produksi terbatas. Berkat kegigihan Dayat, Program Intani tersebut berhasil merubah pola pikir (mindset ) petani khususnya di kecamatan binaannya.
Atas ketekunannya, Putra kelahiran Sunda ini pernah menjadi Penyuluh Teladan se Kabupaten Aceh Besar pada 1992 di era kepemimpinan Bupati Aceh Besar Drs. Sanusi Wahab. atas penghargaan ini, semua mata tertuju padanya. Banyak program pembangunan pertanian dilakukan wilayah kerjanya di Indrapuri sejak saat itu sebagai pilot project.
Di tempat Ia domisili, selain berprofesi sebagai PPL beliau juga menjadi petani dan penangkar benih padi yang dianggap sebagai pelopor pertanian bagi petani lainnya. Produk benih padi yang dihasilkannya nyaris sudah menjangkau seluruh wilayah Aceh.
Dalam beberapa tahun terakhir, beliau gusar dengan kondisi perbenihan di Aceh terutama di Indrapuri. Didepan mata beliau, banyak petani mulai menanam padi dengan benih yang tak jelas asal usulnya yang didapat dari produsen via online. Beliau kecewa karena banyak petani tertipu dengan kemasan dan video yang sengaja diunggah oleh produsen melalui akun Facebook dan media sosial lainnya.
“Petani kita sekarang ya, banyak suka hanya melihat kantong benih yang bagus, padahal isinya tidak jelas. Bahkan hanya sekali tanam, untuk tanam selanjutnya tidak bagus lagi. Tapi mereka tidak jera dengan kondisi tersebut” ujar Dayat dalam wawancara eksklusif dengan responden BSIP Aceh di Jambo Tani Aneuk Glee, Indrapuri.
Padahal menurut Dayat, sekarang benih padi dari BPTP (BSIP-red) sudah bagus sekali seperti Inpari 32 dan beberapa varietas lainnya. “Varietas ini sangat disukai petani dan masyarakat karena beras dan nasinya enak” ucap ayah Muhajir ini. Dayat tak lupa mengucapkan terima kasih kepada BPTP yang telah membinanya selama ini sehingga Ia kini menjadi penangkar sukses di Aceh Besar.